Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالَا يَعْنِيْهِ
“Di antara kebaikan Islamnya seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang bukan urusannya.” (HR. At-Tirmidzi 9/196, Ibnu Majah 3976
Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawi dan Ibnu ‘Abdil Barr. Namun, hadits ini dinilai shahiholeh al-Albani).
Islam mengatur dengan indah bagaimana seorang mukmin berakhlak
terhadap dirinya dan sesama muslim lainnya. Termasuk di sini bagaimana
ia lebih memperhatikan kehidupan akhiratnya daripada terlalu sibuk
dengan urusan orang lain. Peduli pada kebutuhan saudaranya sangat bagus,
bahkan diperintahkan syariat. Akan tetapi, terlalu campur tangan,
bahkan menyibukkan lisannya, hatinya, dan aktivitas lain yang tak
terlalu penting dan mendesak dengan orang lain akan membuatnya melupakan
kewajibannya pada Allah ‘Azza wa Jalla.
Seperti dalam hal berbicara, dia perlu berpikir apakah perkataannya
mengandung maslahat atau justru bisa melukai, mendorong pada menyakiti
saudaranya, ghibah, dan hal yang sejenis yang menjerumuskan pada dosa.
Hisan bin Abi Sinan pernah melewati sebuah kamar lalu dia bertanya,”
Sejak kapan kamar ini dibangun?” Kemudian, dia kembali bertanya kepada
dirinya sendiri,” Apa urusanku dengan pertanyaan, sejak kapan kamar ini
dibangun?! Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang tidak bermanfaat
bagimu. Kemudian, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa selama
satu tahun. (Hilyatul Auliya, 3/115)
Setan senantiasa mencari celah agar seorang hamba terjatuh pada
perkataan dan perbuatan sia-sia. Banyak waktu berharga terbuang percuma
dengan sibuk dan asyik hingga lupa waktu. Mereka isi hari-harinya dengan
sibuk, menguliti aib orang lain, banyak mengikuti berita-berita yang
kurang bermanfaat untuk kehidupan dunia, apalagi untuk kehidupan
akhirat, tenggelam dalam kabar terkini, berselancar di dunia maya tanpa
tujuan untuk kemaslahatan diri dan agamanya.
Orang yang gemar membicarakan orang lain dari berbagai sisi, terlebih
lagi sisi jeleknya maka dia akan lupa bahwa dirinya juga memiliki sifat
buruk dan kekurangan sebagaimana orang lain. Dan seorang mukmin harus tawadhu’dan
memandang dirinya juga penuh kelemahan. Disinilah pentingnya muhasabah
atau banyak-banyak mengoreksi kekurangan dan aib diri sendiri daripada
mengumbar pembicaraan tentang orang lain secara berlebihan tanpa tujuan
mulia, tetapi hanya untuk memenuhi hawa nafsunya yang cenderung
mengajak pada dosa dan permusuhan.
Saatnya kita sibuk dalam kebaikan dan perbuatan yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla. Memperbanyak amal shalih agar dicintai Allah ‘Azza wa Jalla. Berlomba-lomba dalam kebaikan agar kehidupan kita lebih barakah sehingga saat menghadap Allah ‘Azza wa Jalla,kita tergolong hamba-hamba-Nya yang akan memperoleh rahmat dan surga-Nya.
Zaid bin al-Harits, jika tiba waktu malam yang hujan, dia menyalakan
api obor, lalu berkeliling kampung mengunjungi orang-orang tua yang
lemah seraya berkata, ”Apakah kalian menginginkan api?” Apabila pagi
hari datang dia juga berkeliling mengunjungi orang-orang lemah di
kampungnya seraya berkata,” Apakah kalian hendak pergi ke pasar? Apakah
kalian membutuhkan sesuatu?” (Hilyatul Auliya 5/31)
Referensi
- Tiket meraih Surga, Syaikh ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Syaikh Kholid bin ‘Abdurrahman ad-Darwis, Maktabah al-Hanif, Yogyakarta, 2008.
- Pendidikan Berbasis Ahlus Sunah wal Jama’ah, Syaikh Ahmad Farid, Pustaka ELBA, Surabaya, 2012.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Muraji’: Ustadz Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar